Coblos?

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya datang juga hasil “ijtihad” KPU mengenai tata cara memberikan tanda pada surat suara untuk Pemilu tahun 2009 nanti.

Sebagaimana diatur dalam Pemilu (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008), Pasal 153 ayat (1) mengatur bahwa “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memberi tanda satu kali pada surat suara”. Berdasarkan hal itu dan mengingat “rekam jejak sejarah” pada pembahasan undang-undang tersebut maka KPU menetapkan tanda yang akan digunakan adalah tanda “V” atau disebut ”centang”, ”contreng”, “check list”, atau istilah lainnya yang memiliki arti dan makna yang serupa.

Perubahan dari mencoblos (menusuk, menikam, dan lainnya) menjadi tanda “V” atau centang mungkin belum melalui kajian yang komprehensif, tak terkecuali peraturan yang melandasinya. Mengapa demikian?

Senin 8 September 2008, Menteri Pendidikan Nasional Sudibyo saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Aksara Internasional ke-43 di Denpasar, mengeluarkan data bahwa penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara pada akhir Agustus tahun 2008 sebanyak 6,62 persen atau 10,16 juta orang. Selain itu ditambahkan olehnya bahwa dari jumlah 10,16 juta itu, sebanyak 6,6 juta atau 65 persen di antaranya adalah perempuan.

Usia 15 tahun ke atas adalah usia rata-rata warga Negara yang berhak menjadi pemilih baik karena faktor usia atau pun karena faktor perkawinan. Sementara jumlah 10,16 juta suara bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi penentuan calon terpilih sedang hangatnya dibicarakan perubahannya menuju suara terbanyak.

Pada bagian lain, kesempatan perwakilan perempuan untuk duduk sebagai wakil rakyat turut terkurangi karena lebih dari setengah yang buta aksara adalah perempuan. Meskipun pada kenyataannya belum tentu pemilih perempuan akan memilih wakilnya yang perempuan juga. Namun setidaknya, hak dan kesempatan warga negara dalam menjalankan hak memilih tidak dieliminasi karena keterbatasannya.

Mekanisme pemilihan dengan cara memberikan tanda centang terkesan sekedar mencari sensasi, bahkan ada yang menenggarai hanya mencari ”proyek”. Mungkin akan beda halnya jika itu dilakukan pada pemilu mendatang (2014). Bukankah untuk pemilu mendatang masih berlandas pada UU No. 10 tahun 2008, selama belum diubah?.

Kesan itu muncul di benak penulis mengingat Pasal 153 ayat (2) yang mengatur bahwa ”Memberikan tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisien dalam penyelenggaraan Pemilu”. Penulis juga menilai bahwa ketiga prinsip tersebut belumlah terpenuhi jika metodenya tetap dipaksakan dengan memberikan tanda centang.

Merujuk masih besarnya tingkat buta aksara dan kebiasaan yang telah berakar di masyarakat Indonesia, seharusnya KPU menunda penggunaan cara itu khusus untuk Pemilu tahun 2009. Kemudian KPU dapat secara bertahap melaksanakan uji coba sekaligus uji publik cara tersebut melalui pilkada-pilkada yang dilakukan daerah selama 5 (lima) tahun ke depan. Sehingga, prinsip memudahkan pemilih akan benar-benar terwujud.

Permasalahan kedua adalah pada tingkat akurasi penghitungan. Mengingat pengalaman pemilu lalu dan pilkada di berbagai daerah, dengan metode mencoblos saja kadang masih terdapat kekeliruan dalam proses penghitungan. Hal itu juga besar kemungkinannya akan banyak kesalahan hitung jika cara centang ini dipaksakan.

Kemungkinan ini semakin besar manakala variasi kesalahan dikaitkan dengan Pasal 153 ayat (1) yang pada intinya pemberian tanda hanya dilakukan satu kali. Pemberian tanda satu kali pada surat suara memerlukan kecermatan yang tinggi ketika memilih maupun menghitung hasil daripada dengan cara dicoblos. Permasalahan tinta, berlebihan dalam memberikan tanda sehingga keluar dari ketentuan, kebiasaan menandakan 2 (dua) kali pada gambar dan calon anggota dewan pun menjadi variasi masalah lainnya yang juga harus di perhitungkan.

Permasalahan terakhir adalah pada prinsip efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Efisiensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan ”tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya)”; dan ”mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna; bertepat guna; sangkil”.

Merujuk pendefinisian tersebut, nampaknya penandaan dengan cara centang jauh dari penerapan prinsip efisien baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Penulis menilai demikian karena beberapa hal. Pertama, masalah waktu. Keterlambatan disahkannya undang-undang Pemilu dibanding undang-undang serupa pada Pemilu tahun 2004 memiliki dampak telatnya pelaksanaan beberapa agenda pemilu. Sebagai contoh adalah penetapan masa kampanye terbatas, penetapan DPS, dan lainnya.

Kedua, masalah tenaga. Waktu yang tinggal hitungan pekan menuju Pemilu akan menguras energi yang cukup besar untuk sosialisasi. Karena bagaimana pun juga, informasi yang bersifat baru masih memerlukan pembiasaan dan tingkat keakuratan informasi yang jelas. Seandainya pun tetap dipaksakan, KPU hanya akan membenturkan dirinya pada masalah ketiga, biaya.

            Meski beberapa kali sempat terlihat di layar televisi ada iklan layanan masyarakat terkait Pemilu, namun itu belum cukup. Apalagi sepanjang pengetahuan penulis iklan itu bukan sepenuhnya diproduksi oleh KPU, namun sebatas isi yang mengikuti ketentuan KPU. Apakah KPU akan kembali menetapkan penandaan dengan cara coblos? Kita lihat saja nanti.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *