Pada 12 September 2012 lalu saya dan keluarga memenuhi undangan pembuatan E-KTP ke kecamatan Pondok Aren,Tangerang Selatan, sesuai dengan jadwal pukul 13.00 – 15.00. Oleh karenanya, urusan pekerjaan dan rumah terpaksa kami sesuaikan guna menyukseskan Program ini – yang katanya akan “memaksa” Menteri Dalam Negeri mundur dari jabatannya kalau sampai akhir tahun tidak sukses.
Permasalahan yang saya sampaikan kali ini, seharusnya tidak perlu terjadi mengingat program ini sudah berjalan di banyak tempat dan dalam waktu yang tidak sebentar. Saya rasa permasalahan ini juga sudah, sedang, atau bahkan akan terjadi lagi dilokasi lain. Namun tujuan penulisan keluhan ini agar waktu yang tersisa dari program ini dapat termanfaatkan dengan baik.
Berdasarkan data, pengalaman, dan cerita dari para penduduk yang saya temui di lapangan nyatanya masih ditemui beberapa kendala teknis. Akibatnya beberapa penduduk – semoga tidak banyak – kecewa dan enggan membuat E-KTP meski disediakan waktu lain (menyusul).
Informasi ini baru saya ketahui (sekitar/antara pukul 17.30-18.30) setelah banyak penduduk yang mendapat nomor urut di atas 1000, namun warna kertas antrean sama dengan nomor urut di bawah 1000. Sementara, juga ada juga penduduk yang mendapat nomor urut di atas 1000 dengan warna kertas antrean yang berbeda, lantas panitia mengklaim bahwa mereka yang berbeda warna kertas antreanlah yang dianggap nomor urut di atas 1000.
Registrasi ulang ini juga diberlakukan bagi nomor urut di bawah 700 yang pada siang hari terlewat saat pemanggilan, masih di rumah, di kantor, atau alasan lain seperti tidak mendengar panggilan. Sementara di meja pendaftaran, nomor urut baru dengan warna yang berbeda sudah melewati angka 250.
Kejadian ini sontak membuat saya dan keluarga kaget, kecewa, dan marah karena sudah sedari tengah hari yang terik mengantre di luar kantor kecamatan. Sementara nomor antrean yang kami pegang adalah nomor 0002-0006 dan warna kertasnya sama dengan nomor urut antrean di bawah 1000, yang diklaim panitia registrasi pada saat penyerahan di siang hari adalah nomor 1002-1006.
Mengingat nomor antrean baru mencapai angka 700 dan pendaftaran dengan kertas antrean warna baru sudah melebihi angka 250. Berarti setidaknya saya dan keluarga harus menunggu sekitar 5-6 jam – jika proses input tanpa istirahat – dan itu artinya sudah dini hari. Belum lagi semakin malam semakin banyak pendaftar, baik yang baru maupun registrasi ulang. Akhirnya, kami sekeluarga memutuskan untuk pulang, tidak registrasi ulang, mengingat kami juga membawa balita serta ada keluarga yang tinggalnya cukup jauh jika harus pulang malam hari.
Lantas apa kesalahan panitia?
Berdasarkan asumsi dan simulasi waktu perekaman data yang di contohkan di atas, nomor urut yang mencapai angka 700 pada waktu istrahat sholat maghrib bukanlah kesuksesan jika di tilik dari asumsi kebutuhan waktu 24 jam untuk input 600 orang penduduk.
Karena pada kenyataannya, masih banyak yang bernomor urut di bawah 700 yang belum direkam datanya.
Karena ada fakta lapangan – meski tidak secara langsung oleh saya “tertangkap tangan”– bahwa terbuka kesempatan bagi penduduk yang mendapat nomor urut antrean besar masuk via pintu samping (baik arti denotatif atau pun konotatif).
Kasus “pintu samping”, yang sempat menjadi kericuhan kecil, diketahui selepas istirahat ashar. Berdasarkan cerita yang beredar sesama pendaftar, kemungkinan terjadi sebelum istirahat sholat dzuhur. Cerita yang beredar adalah dipergokinya penduduk yang berada di ruang operator, namun datanya tidak tervalidasi di petugas pendaftaran. Selain itu kecurigaan penduduk yang mengantre, panel digital nomor antre tidak bergerak ke angka selanjutnya, namun panggilan manual berdasarkan nama.
Kondisi lapangan yang demikian, menguatkan untuk ambil kesimpulan, bahwa pendaftar yang tidak ditempat digantikan oleh pendaftar dengan nomor urut besar melalui “pintu samping”, kemudian mengorbankan lainnya yang antre secara tertib. Saya sendiri punya hasil jepretan ponsel, ada nomor di atas 700 yang sudah dicoret nomornya untuk nyatakan sudah direkam datanya.
Kesalahan lain yang merugikan para pendaftar adalah mekanisme perubahan warna kertas antrean yang tidak disosialisasikan kepada pendaftar. Sehingga kesalahan panitia dalam memberikan nomor urut di atas angka 1000, menyebabkan pendaftar yang sudah menunggu terpaksa daftar ulang malam itu, atau pulang dengan kecewa sambil mengumpat “Tau begini, mendingan ga usah buat E KTP dah”.
Oleh karena itu, berdasarkan peristiwa di atas, maka dapat diambil kesimpulan dan/atau saran sebagai berikut:
- Rasionalisasi antara jumlah operator+alat dengan waktu yang dibutuhkan untuk merekam satu orang penduduk, dengan kemungkinan pengurangan waktu untuk istirahat, atau masalah teknis lain;
- Rasionalisasi yang wajar berdasarkan peristiwa di atas adalah maksimal 100 orang per hari untuk satu operator+alatnya.
- Pembagian kedatangan pendaftar yang menggunakan sarana undangan, harus berdasarkan asumsi waktu yang dibutuhkan untuk input data (dan waktu istirahat operator)
- Perbanyak Lokasi pembuatan E-KTP misal per Kelurahan, atau perbanyak jumlah alat dan operator penginput data.
- Jangan sampai ditemukan lagi kasus pintu samping, yang pastinya juga melibatkan “orang dalam” untuk meraih “recehan buat beli rokok”.
- Apabila ternyata proyek E-KTP-isasi ini gagal, diharapkan evaluasi tidak hanya berhenti di Mendagri namun total sampai ke tingkat pelaksana, yakni Kecamatan.
Mengingat kondisi yang bekerja dan memiliki balita, saya sendiri dan keluarga masih belum jelas apakah akan mencari hari lain untuk mendaftar ulang, atau akan ikut program susulan (yang kabarnya masih tidak jelas) selama 3 hari di kelurahan masing-masing.