RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau yang dikenal dengan RUU Pemilu akhirnya disahkan setelah beberapa kali mengalami penundaan terkait beberapa hal yang krusial.
Beberapa pasal krusial itu lebih banyak pada penetapan perolehan suara, dan penetapan perolehan kursi dan calon terpilih. Hal ini karena menyangkut eksistensi kelembagaan Partai yang selama ini begitu berkuasa dalam menentukan perwakilan rakyat, dimana sebelumnya Partai juga diuji dengan keputusan MK yang mengabulkan adanya Calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Menilik telah disahkannya RUU Pemilu menjadi UU Pemilu, maka ada beberapa hal yang masih dianggap rumit dan menimbulkan implikasi dalam pelaksanaannya. Hal ini setidaknya di prediksi akan menimbulkan beberapa masalah yang dapat mengganggu jalanya proses Demokrasi di Indonesia. Selain itu, mengingat kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang sepertinya tidak pernah terlepas dari pemberitaan “tidak puas” atas keputusan KPU dalam berbagai pilkada belakangan ini. Bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi pula dalam Pemilu tahun depan.
Electoral Threshold (ET) & Parliamentary Threshold (PT)
Pada Undang-Undang sebelumnya (UU No 12 tahun 2003) diamanatkan apabila Partai hendak mengikuti Pemilu 2004 maka haruslah partai yang telah memenuhi minimal 2% suara sah nasional sedangkan untuk pemilu berikutnya (2009) 3% suara sah nasional. Namun kini, pada Ketentuan Peralihan UU No 10 tahun 2008 ternyata terdapat klausula yang mengatur apabila partai tersebut tidak memiliki “saham” 3 % namun memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004, maka partai tersebut dapat mengikuti Pemilu 2009. Hal ini menunjukkan tingkat kompromi yang begitu tinggi dari kalangan politisi Senayan. Hasilnya, partai baru harus bersusah payah memenuhi berbagai syarat baru, sedangkan partai yang telah memiliki kursi di DPR RI terlepas dari hal itu.
Meskipun pengenaan ET tidak menghalangi dan mengurangi keberadaan parpol di Indonesia. Namun kini muncul kembali PT, “satu makhluk” yang mau tidak mau akan mereduksi partai baru, partai kelas kecil dan menengah dalam menentukan arah kebijakan bangsa Indonesia ke depan melalui perwakilan rakyat tingkat nasional (DPR RI). Pada Pasal 202 UU No 10 Tahun 2008 diatur bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”. Kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.”.
Perihal di atas mengakibatkan, partai-partai yang tidak memiliki 2.5 % jumlah suara sah secara nasional terpaksa bermain pada tataran lokal saja. Artinya apabila ada partai yang hanya mendapatkan 2,4 % suara sah nasional, maka partai tersebut tidak akan diikutsertakan dalam perhitungan perolehan kursi untuk DPR, singkatnya semua suara untuk mendapatkan kursi tingkat DPR, HILANG.
Dengan demikian dalam penghitungan suara maka suara sah seluruh partai peserta pemilu dikurangi terlebih dahulu dengan suara partai yang tidak sampai ambang batas 2,5 % kemudian hasil dari pengurangan dijadikan landasan penentuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Atau dengan kata lain, BPP di dapat dari pembagian antara hasil pengurangan tersebut dengan jumlah kursi yang ditentukan untuk daerah pemilihan itu.
BPP 50 %, Suara Terbanyak, dan Penarikan Sisa Suara ke Provinsi
Beranjak dari permasalahan ET dan PT, pembagian kursi DPR dalam UU no 10 tahun 2008 dinilai berbagai kalangan cukup merepotkan alias njelimet.
Tahap pertama, membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu (yang memenuhi ambang batas nasional) di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR. Apabila dalam hal ini masih terdapat sisa kursi, maka dilakukan tahapan kedua yaitu sisa kursi tersebut akan diberikan kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 % dari BPP DPR. Artinya partai lain yang telah mendapatkan sekurang-kurangnya 50 % dari BPP DPR harus bersaing kembali dengan sisa suara (sekurang-kurangnya 50 % dari BPP DPR) dari partai yang telah mendapatkan kursi. Kemudian, jika ternyata masih tersisa kursi yang belum terbagi, maka dilakukan tahap ketiga.
Pada tahapan ketiga, seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan ke Provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. Artinya dari sekian dapil di provinsi tersebut, tiap partai akan mengumpulkan sisa suara sahnya untuk kemudian digabungkan dengan sisa suara sah partai lain. BPP di dapat dari pembagian antara jumlah sisa suara seluruh partai dengan jumlah kursi yang belum terbagi di provinsi yang bersangkutan. Setelah BPP didapatkan, maka sisa kursi hanya akan diberikan kepada partai-partai yang sisa suara sahnya memenuhi BPP provinsi yang bersangkutan.
Perhitungan belum selesai, jika dari pembagian tahap ketiga tersebut masih menyisakan kursi yang belum terbagi, maka penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.
Bahkan apabila dengan cara tersebut pun masih tersisa kursi yang belum terbagi padahal sisa suara telah terkonversi menjadi kursi pada tiap partai politim peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan.
(UU ini tidak mengenal tahap ketiga, ini hanya versi penulis untuk menunjukkan tahapan pembagian sisa suara. Pembagian sisa suara ini pun tidak berlaku daerah pemilihan adalah provinsi yang bersangkutan, karena pola penghitungan dibagi habis di provinsi tersebut )
Tabel Simulasi implementasi undang-undang 2008 terhadap komposisi perolehan kursi DPR 2009 berdasarkan hasil Pemilu 2004:
Partai
|
2004
|
2009
|
Keterangan
|
Partai Golkar
|
127
|
154
|
Lolos PT
|
PDIP
|
109
|
125
|
Lolos PT
|
PPP
|
58
|
58
|
Lolos PT
|
PD
|
56
|
55
|
Lolos PT
|
PKB
|
52
|
54
|
Lolos PT
|
PAN
|
53
|
47
|
Lolos PT
|
PK Sejahtera
|
45
|
46
|
Lolos PT
|
PBB
|
11
|
11
|
Tidak Lolos PT
|
Partai lain (8)
|
39
|
0
|
Tidak Lolos PT
|
Sumber: Cetro, dikutip dari http://www.cidesonline.org
Implikasi
Berdasarkan paparan di atas terdapat beberapa implikasi yaitu, Pertama, pemberlakuan ET dinilai diskriminatif dan tidak menghargai jerih payah pembuat UU No 12 Tahun 2003 serta hanya menguntungkan partai tertentu yang telah memiliki kursi di DPR namun tidak memenuhi 3 % suara sah nasional dari Pemilu 2004. Hal ini dapat dikatakan sebagai kompromi politik yang mencederai semangat demokratisasi di Indonesia yang sedang berkembang.
Kedua, meski PT diberlakukan hanya untuk tingkat nasional, namun hal ini secara langsung dapat dikatakan sebagai upaya mengkerdilkan peran partai dengan suara minoritas pada Pemilu 2009 guna bersama membangun dan menentukan arah kebijakan bangsa Indonesia. Apalagi terhadap partai yang nyaris menggapai 2,5 % suara nasional.
Penetapan perolehan kursi, khususnya di tingkat Nasional hanya membuat partai besar semakin besar sedangkan partai kecil dan menengah terpinggirkan dan hilang dari peredaran perpolitikan nasional, ini dapat dicermati dari tabel simulasi yang dikutip di muka. Akhirnya, Selamat Berjuang!!!
thanks ^_^
Pembahasan dalam dan komprehensif. Terima kasih masukannya. Appreciate it.