Golput Menuju 2009 (Pengantar )

1998
Gelombang aksi mahasiswa menumbangkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun telah satu dekade terlewati. Reformasi yang sebelumnya dipandang akan membawa perubahan ke arah perbaikan ternyata belum terwujud sempurna.
Dahulu, Pemerintah dituding telah memboyong seluruh hasil bumi di daerah untuk disimpan dalam pundi-pundi oknum tertentu di pusat. Kini justru muncul istilah raja-raja kecil di daerah yang ikut terkena virus korupsi dan kerap merampas upeti dari rakyatnya tanpa lupa membagi sebagian “kue” kepada tetuanya. Itu semua terjadi tanpa peduli dengan kondisi yang sulit dan menghimpit kalangan rakyat jelata. Semua seolah saling berlomba dalam pacuan untuk merebut trophy koruptor terlicin dari jerat hukum.
Demokrasi yang pada saat itu dianggap akan memberikan angin kesegaran, ternyata saat ini masih belum berpihak pada Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari peran serta rakyat dan perwakilannya yang duduk tidak hanya di legislatif, namun juga di eksekutif, yudikatif, dan parpol. Pada bagian lain, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Ataukah itu semua adalah pencerminan dari pluralitas rakyat Indonesia?
Krisis Kepercayaan
Ketika di belahan bumi  lain peranan parpol menguat dalam melayani konstituennya, justru di Indonesia lebih banyak yang menyakiti konstituennya dengan segala macam tingkah polah yang dilakukannya. Mulai dari penentuan pimpinan partai sampai pemilihan calon pejabat publik yang ditengarai penuh intrik, kolusi dan korupsi. Bahkan sampai ada yang berpendapat bahwa parpol yang menjamur sekarang ini seolah diternak oleh kelompok tertentu hanya untuk mengambil keuntungan semata. Apakah benar? Bagaimana dengan parpol-parpol yang berbasis religiusitas? Mari telusuri bersama di lapangan.
Dasar apes, itulah mungkin yang terjadi pada parpol di Indonesia. Dentuman gong krisis kepercayaan ini terus bersambut satu sama lain. Terdengar oleh kita telaknya Parpol nasional dipukul mundur oleh GAM di Aceh, keluarnya putusan MK tentang calon perseorangan, Survei Transparansi Internasional tahun 2006 yang menempatkan Parpol di papan atas sebagai salah satu lembaga yang terkorup. Kemudian semuanya terakumulasi dalam bentuk kekecewaan rakyat yang menyaingi ketidakpedulian akan tingkah pemimpinnya dengan asas “asal”-nya (asal bisa makan, asal bisa kerja, asal bisa berteduh, terserah siapa yang memimpin).
Sementara sejarah membuktikan pada musim-musim pemilu lalu, hampir semua parpol tidak menjalankan fungsinya secara optimal. Selain itu, masyarakat kita seolah lebih suka terfragmentasi atas ideologi semu partai yang mereka yakini, bukan pada program konkret yang terukur dan terasa dalam kehidupan sehari-hari. Sementara untuk urusan pilkada, masyarakat lebih mencari sosok yang sreg dihati ketimbang partainya. Oleh karenanya ayo sama-sama kita lihat track record kinerja partai selama ini baik selaku lembaga maupun “penguasa” jabatan publik?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *