Menguji Pemilih

Masa kampanye Pemilu Indonesia telah berakhir pada 13 April 2019 jam 24.00 WIB, selebihnya setiap peserta pemilu tidak diperkenankan melakukan kampanye dengan bentuk apapun,sebagaimana diatur dalam UU Pemilu  No 7 Tahun 2017 dan PKPU No 23 Tahun 2018. Tiba saatnya para pemilih “seharusnya” dengan tenang menimbang dan menentukan kemanakah suaranya akan dilabuhkan. Karena hasilnya, akan mempengaruhi bagaimana mereka akan merasakan kehidupan berbangsa dan bernegara setidaknya 5 tahun ke depan. Apakah mereka akan menerima sama dengan periode sebelumnya, atau ingin ada perubahan.

Bisa dikatakan, sejak ditetapkan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden antusiasme masyarakat lebih bergairah ketimbang sebelumnya. Namun, di sisi lain menjadi kekhawatiran juga dengan potensi polarisasi yang semakin menguat. Harapannya akan kembali cair seperti sediakala baik di dunia nyata maupun dunia maya.

 

Berpaling dari itu semua, sejatinya ada tantangan tersendiri bagi para pemilih dalam menentukan nasib dirinya di masa yang akan datang. Selain dari keterpilihan capres dan cawapres untuk menjadi presiden dan wapres, juga ada pilihan lain yang turut menentukan jalannya negara Indonesia yaitu keterpilihan Anggota Dewan, khususnya DPR RI.

 

Sistem ketatanegaraan kita memberikan kekuasaan kepada legislatif (DPR RI) untuk melakukan setidaknya 3 fungsi utama: Legislasi (pembuatan UU), controling (pengawasan terhadap eksekutif), dan budgeting (penganggaran APBN). Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, maka DPR RI secara lembaga sudah seharusnya menjadi pihak yang melakukan check & balances terhadap ekskutif, siapapun presiden dan wakilnya. Sehingga keterpilihan presiden dan wakilnya sepatutnya tidak harus linear dengan program masing-masing partai yang ada.

 

Tapi pada praktek di lapangan, dinamika yang ada menyebabkan idealitas tersebut tidak selalu berjalan dengan baik. Mayoritas partai (di DPR) pendukung presiden dan wakil presiden kadangkala bisa menjadi “tukang stempel” apapun kebijakan yang diterbitkan eksekutif. Tentunya dengan berlindung di belakang alasan demi “stabilitas” jalannya pemerintahan.

 

Setiap pemilih, tentunya mengharapkan dari terpilihnya anggota dewan adalah dapat menjadi penyambung aspirasinya. Bila ditemukan kebijakan eksekutif yang tidak sejalan dengan arus besar aspirasi masyarakat, maka setiap partai harus mengoreksi. Pada bagian inilah pentingnya mempelajari program partai, baik dari pendukung dan pengusung capres cawapres, maupun lainnya.

 

Sayangnya, hal ini sepertinya terlewat dari radar penyelenggara. Sehingga para pemilih dibiarkan secara “mandiri” berupaya mengakses setiap program yang ditawarkan partai. Termasuk pada pemilu 2019 kali ini.

 

Kondisi masyarakat yang dominan “memakan” isu pencapresan ketimbang program kepartaian, ketersediaan informasi program partai yang minim, serta penyelenggara yang “fokus” debat capres cawapres, seolah menjadi situasi yang “perfect”. Panggung untuk mengadu gagasan antar partai tenggelam bersama jutaan hoax dari orang yang memancing di air keruh. Akibatnya, yang terdengar hanyalah janji-janji normatif capres cawapres yang sepertinya masih sulit ditagih dikemudian hari.

 

Pemilih capres cawapres seharusnya juga di edukasi, bahwa pilihan terhadap salah satu capres cawapres tidak harus sejalan dengan partai pendukung/pengusungnya, jika dinilai programnya tidak sesuai dengan aspirasinya. Sehingga mirip seperti perbedaan pilihan dari pemilih antar partai pengusung.

 

Pada prakteknya, hal ini sebenarnya bisa ditemukan. Namun jumlahnya bisa dikatakan tidak banyak jika berdasarkan kebebasan dan kemampuan pemilih dalam menentukan pilihan. Kebanyakan, perbedaan antara pilihan eksekutif dan legislatif dikarenakan faktor lain seperti kekeluargaan, asal daerah, keagamaan, atau bahkan mungkin juga karena faktor money politic. Sehingga, menjadi tugas bersama agar setiap pilihan pemilih baik dalam penentuan capres cawapres maupun anggota dewan adalah berdasarkan atas informasi yang dicari; diteliti; diputuskan secara sadar.

 

Solusi untuk masalah ini bisa dimulai dengan diadakannya debat antar perwakilan partai atas setiap program yang diusung. Hal ini bisa diuji baik oleh partai lain, profesional, termasuk pemilih pada umumnya. Karena di batas inilah pemilih bisa benar-benar diuji kedewasaan berdemokrasinya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *