Golput Menuju 2009 (Lanjutan II )

Fenomena Lain
Terlepas dari berbagai permasalahan dalam sistem demokrasi di Indonesia yang kerap dianekdotkan dengan “demokrasi tidak-tidak” (Parlementer tidak, Presidensil tidak). Patut kita lihat lagi fenomena lain yang kini mulai menghantui Indonesia. Fenomena yang biasa disebut Golput, meski tidak tepat dikatakan demikian.
Berbagai alasan dinyatakan oleh pengamat tentang fenomena ini. Trend yang terpampang dilapangan justru terlihat semakin meningkat manakala sejumlah pemilihan dilakukan berulang kali pada suatu daerah, namun tidak memberikan hasil yang diharapkan pemilih. Bahkan seringkali dalam berbagai pemilihan kepala daerah, justru Golput inilah yang memecundangi para politisi yang berebut jadi kepala daerah. Terakhir dalam Pilkada Jawa Barat, diperkirakan hanya 67,313 % masyarakat yang memilih.
Data terakhir memperlihatkan perbandingan perolehan Kandidat Kepala Daerah di Jawa Barat yang semakin dipecundangi oleh Golput. 23 April 2008 salah satu surat kabar harian nasional melansir perolehan Golput yang lebih tinggi daripada para kandidat. Harian ini menyatakan hak suara yang tidak bisa tersalurkan dan golput mencapai sekitar 9,1 juta dari total 27,9 juta pemilih di Jawa Barat. Bandingkan dengan perolehan pasangan “Hade” 7.287.647 suara, “Aman” dengan 6.217.557, “Dai” dengan 4.490.901, dan Suara tidak sah 806.560 suara. Rekor ini pun kemudian dikalahkan oleh Pilkada Sumut sebagaimana dikutip berbagai media dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa tingkat warga yang tidak menggunakan hak pilih (golput) mencapai 41 persen (http://www.lsi.co.id/artikel.php?id=866).
Ada yang berpendapat masalah terbesar ada pada kesalahan yang terus dilakukan berulang kali seperti pola administrasi pendaftaran yang masih menggunakan data lama, sehingga banyak yang kehilangan hak memilih. Ada pula yang sudah terdaftar dalam DPT ternyata tidak mendapatkan undangan yang akhirnya dijadikan alasan untuk tidak datang. Atau ada pula yang namanya tercantum dalam DPT namun terletak pada wilayah yang jauh dengan tempat tinggalnya (lintas RT, RW, Lingkungan). Belum lagi masalah kartu ganda, kartu yang tidak ada orangnya karena pindah bahkan meninggal telah bertahun-tahun lalu, dan lainnya. Padahal dalam satu tahun pemilihan Kepala Daerah di Indonesia itu bisa mencapai 100 kali di seluruh Indonesia. Apakah hal ini tidak cukup untuk dijadikan pelajaran di daerah lain?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *